Senin, 10 Februari 2014

Pendirian Komite Internasional Palang Merah ( ICRC )

ICRC berawal dari visi dan tekad satu orang: Henry Dunant. Tanggal: 24 Juni 1859. Tempat: Solferino, kota kecil di Italia utara. Pada waktu itu tengah pasukan Austria dan Prancis bertempur sengit. Sore harinya, 40.000 prajurit bergeletakan tewas atau terluka. Henry Dunant, seorang warga Swiss, kebetulan melewati daerah itu untuk suatu urusan bisnis. Ia ngeri menyaksikan ribuan prajurit menderita tanpa pelayanan medis. Ia mengajak penduduk setempat merawat mereka. Dia tekankan bahwa prajurit dari kedua belah pihak harus diberi perawatan yang setara.

Sekembalinya ke Swiss, Dunant menerbitkan sebuah buku berjudul A Memory of Solferino (Kenangan dari Solferino), yang berisi dua usulan:

agar pada masa damai didirikanperhimpunan -perhimpunan bantuan kemanusiaan yang memiliki juru rawat yang siap untuk merawat korban luka pada waktu terjadi perang; agar para relawan ini, yang akan bertugas membantu dinas medis angkatan bersenjata, diberi pengakuan dan perlindungan melalui sebuah perjanjian internasional. Pada tahun 1863, sebuah perkumpulan amal bernama Perhimpunan Jenewa untuk Kesejahteraan Masyarakat membentuk sebuah komisi lima orang untuk mewujudkan gagasan Dunant itu. Beranggotakan Gustave Moynier, Guillaume-Henri Dufour, Louis Appia, Theodore Maunoir, dan Dunant sendiri, komisi ini kemudian mendirikan Komite Internasional Pertolongan Korban Luka, yang kemudian menjadi Komite Internasional Palang Merah atau ICRC. Mereka lalu terus mengembangkan gagasan Henry Dunant. Atas undangan mereka, 16 negara dan empat lembaga filantropis menghadiri Konferensi Internasional di Jenewa pada tanggal 26 Oktober 1863. Dalam konferensi ini sebuah lambang pembeda, yaitu palang merah di atas dasar putih, diadopsi. Lahirlah Palang Merah.

Sebelum Perang Dunia I

Untuk memformalkan perlindungan dinas medis angkatan bersenjata di medan tempur dan untuk mendapatkan pengakuan internasional atas Palang Merah beserta cita-citanya, Pemerintah Swiss mengundang pemerintah semua negara Eropa, serta Amerika Serikat, Brasil, dan Meksiko, untuk menghadiri sebuah konferensi diplomatik resmi. Enam belas negara mengirim total 26 delegasi ke Jenewa. Pada tanggal 22 Agustus 1864, konferensi ini mengadopsi sebuah perjanjian bernama “Konvensi Jenewa untuk Perbaikan Kondisi Korban Luka dalam Pertempuran Darat,” yaitu perjanjian pertama yang membentuk Hukum Humaniter Internasional. Perwakilan dari 12 negara dan kerajaan menandatangani konvensi ini: Baden, Belgia, Denmark, Perancis, Hesse, Italia, Belanda, Portugal, Prusia, Swiss, Spanyol, dan Württemberg.

Konvensi ini berisi sepuluh pasal, menetapkan untuk pertama kali aturan-aturan yang mengikat secara hukum dan menjamin netralitas dan perlindungan bagi tentara yang terluka, personel medis lapangan, dan lembaga kemanusiaan khusus dalam konflik bersenjata. Selain itu, konvensi juga menetapkan dua persyaratan terkait pengakuan perhimpunan bantuan nasional oleh Komite Internasional:

Perhimpunan nasional harus diakui oleh pemerintah nasionalnya sendiri sebagai perhimpunan bantuan sesuai dengan konvensi, dan Pemerintah nasional dari masing-masing negara harus menjadi negara pihak dalam Konvensi Jenewa. Tidak lama setelah penetapan Konvensi tersebut, perhimpunan nasional pertama didirikan di Belgia, Denmark, Perancis, Oldenburg, Prusia, Spanyol, dan Württemberg. Tahun 1864, Louis Appia dan Charles van de Velde, seorang kapten Angkatan Darat Belanda, menjadi delegasi independen dan netral pertama yang bekerja di bawah simbol Palang Merah dalam konflik bersenjata. Tiga tahun kemudian tepatnya pada tahun 1867, Konferensi Internasional Perhimpunan Bantuan Nasional untuk Perawatan Korban Luka dalam Perang diselenggarakan untuk pertama kali.

Pada tahun 1867, Henry Dunant terpaksa menyatakan bangkrut karena kegagalan bisnis di Aljazair, sebagian karena dia mengabaikan kepentingan bisnisnya selama aktivitas tak kenal lelah-nya untuk Komite Internasional. Kontroversi seputar masalah bisnis Dunant dan opini publik negatif yang berkembang, ditambah dengan konflik berkepanjangan dengan Gustave Moynier, menyebabkan pencopotan Dunant dari posisinya sebagai anggota dan sekretaris. Dia didakwa memalsukan kebangkrutan dan surat perintah penangkapan dikeluarkan. Dunant terpaksa meninggalkan Jenewa dan tidak pernah kembali ke kota asalnya. Pada tahun-tahun berikutnya, perhimpunan nasional didirikan di hampir semua negara di Eropa. Pada tahun 1876, komite mengadopsi nama "Komite Internasional Palang Merah" (ICRC), yang masih menjadi nama resmi hingga saat ini. Lima tahun kemudian, Palang Merah Amerika didirikan atas upaya dari Clara Barton. Semakin banyak negara menandatangani Konvensi Jenewa dan mulai menghormatinya di lapangan selama konflik bersenjata. Dalam waktu yang relatif singkat, Palang Merah mendapatkan momentum besar sebagai sebuah gerakan yang dihormati secara internasional, dan perhimpunan nasional menjadi kian populer sebagai tempat untuk bekerja secara sukarela.

Pada tahun 1906, Konvensi Jenewa 1864 direvisi untuk pertama kali. Satu tahun kemudian, Konvensi Den Haag X, diadopsi pada Konferensi Perdamaian Internasional Kedua di Den Haag, memperluas ruang lingkup Konvensi Jenewa untuk perang di laut. Sesaat sebelum pecahnya Perang Dunia Pertama pada tahun 1914, 50 tahun setelah berdirinya ICRC dan pengadopsian Konvensi Jenewa pertama, sudah ada 45 perhimpunan bantuan nasional di seluruh dunia. Gerakan telah menjangkau luar Eropa dan Amerika Utara hingga ke Amerika Tengah dan Selatan (Argentina, Brazil, Chili, Kuba, Meksiko, Peru, El Salvador, Uruguay, Venezuela), Asia (Republik Cina, Jepang, Korea, Siam), dan Afrika (Republik Afrika Selatan).

Perang Dunia I

Ketika Perang Dunia I meletus, ICRC menghadapi tantangan besar yang hanya bisa diatasi berkat kerjasama ICRC dengan perhimpunan nasional Palang Merah. Juru rawat Palang Merah dari seluruh dunia, termasuk Amerika Serikat dan Jepang, memberi dukungan pelayanan medis angkatan bersenjata negara-negara Eropa yang terlibat dalam perang. Pada tanggal 15 Oktober 1914, segera setelah dimulainya perang, ICRC mendirikan Badan Tawanan Perang Internasional (POW Agency), yang pada akhir 1914 memiliki sekitar 1.200 staf, sebagian besar relawan. Di akhir perang, Badan ini sudah mengirimkan sekitar 20 juta surat dan pesan, 1,9 juta paket, dan sekitar 18 juta franc Swiss (Rp.170milyar) sumbangan uang untuk POW dari semua negara yang terkena dampak. Selain itu, atas intervensi Badan ini, sekitar 200.000 tahanan menjadi bagian dari pertukaran POW antar pihak-pihak yang bertikai, dibebaskan dari tahanan dan kembali ke negara asal mereka. Indeks kartu organisasi Badan ini mengakumulasi sekitar 7 juta catatan dari tahun 1914 hingga tahun 1923, setiap kartu mewakili satu orang tahanan atau satu orang yang hilang. Indeks kartu membantu identifikasi sekitar 2 juta tawanan perang dan bisa mengontak keluarga mereka. Indeks lengkap tersebut saat ini dipinjamkan ICRC ke Museum Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional di Jenewa. Hak untuk mengakses indeks tersebut masih sangat terbatas untuk ICRC.

Selama perang, ICRC memonitor kepatuhan pihak-pihak bertikai terhadap Konvensi Jenewa yang telah direvisi pada tahun 1907 dan meneruskan keluhan tentang pelanggaran ke negara masing-masing. Ketika senjata kimia digunakan dalam perang untuk pertama kalinya dalam sejarah, ICRC dengan gigih memprotes peperangan jenis baru ini. Bahkan tanpa mandat dari Konvensi Jenewa, ICRC berusaha meringankan penderitaan penduduk sipil. Di wilayah yang secara resmi ditetapkan sebagai "wilayah pendudukan", ICRC dapat membantu penduduk sipil berdasarkan Konvensi Den Haag tentang Hukum dan Kebiasaan Perang di Darat tahun 1907. Konvensi ini juga merupakan dasar hukum pekerjaan ICRC terkait tawanan perang. Kegiatan Badan Tawanan Perang Internasional sebagaimana diuraikan di atas mencakup kunjungan inspeksi ke kamp-kamp POW. Sebanyak 524 kamp di seluruh Eropa dikunjungi oleh 41 delegasi dari ICRC hingga perang berakhir.

Antara tahun 1916 dan 1918, ICRC mengeluarkan sejumlah kartu pos yang memuat foto dari kamp POW. Foto-foto tersebut menunjukkan para tawanan dalam kegiatan mereka sehari-hari seperti mendistribusikan surat dari rumah. Tujuan ICRC adalah memberikan harapan dan penghiburan kepada keluarga tawanan dan mengurangi ketidakpastian tentang nasib orang-orang yang mereka cintai. Setelah perang berakhir, ICRC mengatur pemulangan sekitar 420.000 tawanan ke negara asal mereka. Pada tahun 1920, tugas repatriasi diserahkan kepada Liga Bangsa-Bangsa yang baru terbentuk, yang menunjuk diplomat dan ilmuwan Norwegia Fridtjof Nansen sebagai Komisioner Tinggi Pemulangan Tawanan. Mandat hukumnya kemudian diperluas untuk mendukung dan merawat pengungsi perang dan orang-orang terlantar manakala kantornya diubah menjadi Komisaris Tinggi untuk Pengungsi Liga Bangsa-Bangsa. Nansen, yang menciptakan paspor Nansen untuk pengungsi tanpa negara dan yang dianugerahi Hadiah Nobel Perdamaian tahun 1922, menunjuk dua delegasi dari ICRC sebagai deputinya.

Setahun sebelum akhir perang, ICRC mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 1917 atas pekerjaan yang luar biasa selama perang. Itu adalah satu-satunya Hadiah Nobel Perdamaian yang diberikan pada periode 1914-1918. Pada tahun 1923, Komite mengadopsi perubahan kebijakan mengenai pemilihan anggota baru. Hingga saat itu, hanya warga dari kota Jenewa yang bisa bekerja di ICRC. Pembatasan ini diperluas untuk mencakup warga negara Swiss. Sebagai konsekuensi langsung dari Perang Dunia I, satu protokol tambahan dari Konvensi Jenewa diadopsi pada tahun 1925 yang melarang penggunaan gas cekik atau gas racun dan unsur-unsur biologi sebagai senjata. Empat tahun kemudian, Konvensi asli direvisi dan Konvensi Jenewa kedua mengenai "Perlakuan terhadap Tawanan Perang" ditetapkan. Kejadian-kejadian selama Perang Dunia I dan kegiatan-kegiatan ICRC secara signifikan meningkatkan reputasi dan kewenangan ICRC di antara komunitas internasional dan membuat kompetensinya diperluas.

Di awal tahun 1934, rancangan usulan sebuah konvensi tambahan untuk perlindungan penduduk sipil dalam konflik bersenjata diadopsi oleh Konferensi Internasional Palang Merah. Sayangnya, mayoritas pemerintah kurang tertarik melaksanakan konvensi ini, sehingga konvensi tersebut masih belum berlaku sebelum pecahnya Perang Dunia II.

Perang Dunia II

Dasar hukum kegiatan ICRC selama Perang Dunia II adalah Konvensi Jenewa yang direvisi tahun 1929. Kegiatan ICRC mirip dengan yang dilakukannya selama Perang Dunia I: mengunjungi dan memantau kamp-kamp POW, mengorganisir bantuan kemanusiaan bagi penduduk sipil, dan mengatur pertukaran berita terkait tawanan dan orang-orang hilang. Di akhir perang, 179 delegasi telah melakukan 12.750 kunjungan ke kamp POW di 41 negara. Badan Informasi Pusat tentang Tawanan Perang memiliki 3.000 staf, indeks kartu penelusuran tawanan memuat 45 juta kartu, dan 120 juta pesan dipertukarkan oleh Badan ini. Salah satu kendala utama adalah Palang Merah Jerman yang dikendalikan Nazi menolak mematuhi statuta Jenewa termasuk pelanggaran secara terang-terangan seperti deportasi keturunan Yahudi dari Jerman dan pembunuhan massal yang dilakukan di kamp-kamp konsentrasi yang dijalankan oleh pemerintah Jerman. Selain itu, dua aktor besar lain yang terlibat dalam konflik, Uni Soviet dan Jepang, bukan negara pihak pada Konvensi Jenewa 1929 dan secara hukum tidak diwajibkan mematuhi aturan-aturan konvensi.

Selama perang, ICRC gagal membuat kesepakatan dengan Nazi Jerman tentang perlakuan terhadap tahanan di kamp konsentrasi, dan akhirnya memilih untuk tidak memberi tekanan guna menghindari terganggunya kegiatan-kegiatannya dengan POW. ICRC juga gagal memberi respon atas informasi yang dapat dipercaya mengenai kamp-kamp pemusnahan dan pembunuhan massal orang Yahudi di Eropa. Ini masih dianggap sebagai kegagalan terbesar ICRC dalam sejarahnya. Setelah November 1943, ICRC mendapat izin untuk mengirim paket kepada tahanan di kamp konsentrasi bagi yang nama dan lokasinya sudah diketahui. Karena tanda terima paket-paket tersebut sering kali ditandatangani oleh penghuni lain, ICRC berhasil mendata identitas sekitar 105.000 tahanan di kamp-kamp konsentrasi dan mengantar sekitar 1,1 juta paket, terutama ke kamp Dachau, Buchenwald, Ravensbrück, dan Sachsenhausen.

Pada tanggal 12 Maret 1945, Presiden ICRC Jacob Burckhardt mendapat pesan dari Jenderal SS Ernst Kaltenbrunner yang menerima permintaan ICRC untuk mengijinkan delegasi ICRC mengunjungi kamp-kamp konsentrasi. Perjanjian ini terikat oleh persyaratan bahwa delegasi harus tinggal di kamp-kamp sampai akhir perang. Sepuluh orang delegasi, di antaranya Louis Haefliger (Mauthausen Camp), Paul Dunant (Theresienstadt Camp) dan Victor Maurer (Dachau Camp), menerima penugasan tersebut dan mengunjungi kamp-kamp. Louis Haefliger mencegah pengusiran paksa atau peledakan Mauthausen-Gusen dengan memperingatkan pasukan Amerika, sehingga berhasil menyelamatkan nyawa sekitar 60.000 tahanan. Tindakannya dikutuk oleh ICRC karena dianggap bertindak tidak tepat dan berdasarkan keinginannya sendiri sehingga mempertaruhkan netralitas ICRC. Baru pada tahun 1990, reputasinya akhirnya direhabilitasi oleh Presiden ICRC Cornelio Sommaruga.

Contoh lain dari spirit kemanusiaan yang luar biasa adalah Friedrich Born (1903-1963), seorang delegasi ICRC di Budapest yang menyelamatkan 11.000 hingga 15.000 orang Yahudi di Hongaria. Marcel Junod (1904-1961), seorang dokter dari Jenewa, adalah salah satu delegasi terkemuka lainnya selama Perang Dunia Kedua. Cerita tentang pengalamannya, termasuk kisahnya sebagai salah satu orang asing pertama yang mengunjungi Hiroshima setelah bom atom dijatuhkan, bisa dibaca dalam buku Warrior without Weapon.

Pada tahun 1944, ICRC menerima Hadiah Nobel Perdamaian kedua. Seperti pada Perang Dunia I, hadiah ini juga menjadi satu-satunya Nobel Perdamaian yang diberikan selama periode utama Perang Dunia Kedua, 1939 sampai 1945. Di akhir perang, ICRC bekerja sama dengan perhimpunan nasional Palang Merah untuk mengatur bantuan kemanusiaan ke negara-negara yang paling parah kondisinya. Tahun 1948, Komite mengeluarkan sebuah laporan kajian kegiatan-kegiatan selama perang, dari tanggal 1 September 1939 sampai 30 Juni 1947. Sejak Januari 1996, arsip ICRC untuk periode ini dibuka untuk penelitian akademik dan publik.

Pasca Perang Dunia II

Pada tanggal 12 Agustus 1949 revisi lanjutan atas dua Konvensi Jenewa sebelumnya diadopsi. Konvensi tambahan tentang "Perbaikan Kondisi Angkatan Perang di Laut yang Luka, Sakit dan Korban Kapal Karam", kini disebut Konvensi Jenewa kedua, dibawa dalam payung Konvensi Jenewa sebagai pengganti Konvensi Den Haag 1907 X. Konvensi Jenewa 1929 mengenai "Perlakuan terhadap Tawanan Perang" mungkin menjadi Konvensi Jenewa kedua dari sudut pandang sejarah (karena konvensi itu sebenarnya dirumuskan di Jenewa), tapi setelah 1949 disebut Konvensi ketiga karena secara kronologis dirumuskan setelah Konvensi Den Haag. Merespon pengalaman Perang Dunia II, Konvensi Jenewa Keempat, sebuah Konvensi baru tentang "Perlindungan Penduduk Sipil pada Masa Perang," ditetapkan. Selain itu, Protokol Tambahan I dan Protokol Tambahan II tanggal 8 Juni 1977 dimaksudkan untuk membuat konvensi tersebut berlaku dalam konflik internal seperti perang sipil. Protokol Tambahan III Konvensi Jenewa 1949 yang mengatur mengenai lambang pembeda tambahan dengan menambahkan lambang baru, kristal merah, diadopsi pada tahun 2005. Saat ini, empat konvensi dan protokol tambahan berisi lebih dari 600 pasal, perluasan yang luar biasa jika dibandingkan dengan hanya 10 pasal dalam konvensi pertama tahun 1864.

Dalam perayaan seabad ICRC pada tahun 1963, ICRC dan Liga Perhimpunan Palang Merah, mendapat Hadiah Nobel Perdamaian ketiga. Sejak tahun 1993, orang-orang non-Swiss diperbolehkan bekerja sebagai delegasi ICRC di luar negeri, tugas yang sebelumnya dibatasi hanya untuk warga negara Swiss. Sejak saat itu, kuota staf yang bukan warga negara Swiss telah meningkat sekitar 35%.

Pada tanggal 16 Oktober 1990, Majelis Umum PBB memutuskan untuk memberikan status pengamat kepada ICRC untuk sesi-sesi sidang umum dan pertemuan-pertemuan sub-komite, status pengamat pertama yang diberikan kepada organisasi non-pemerintah. Resolusi tersebut diusulkan bersama oleh 138 negara anggota dan diperkenalkan oleh duta besar Italia, Vieri Traxler, untuk mengenang asal mula organisasi tersebut dari Pertempuran Solferino.

ICRC untuk pertama kali mengakhiri sikap bungkam kepada media yang lazim dilakukannya dengan mengutuk Genosida yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994. ICRC berupaya mencegah kejahatan yang terjadi di sekitar Srebrenica pada tahun 1995 tetapi kemudian membuat pernyataan, "Kami harus akui kendati berbagai upaya yang kami lakukan untuk membantu ribuan warga sipil yang diusir secara paksa dari kota dan meskipun dedikasi rekan-rekan kami di lapangan, dampak ICRC terhadap tragedi yang terungkap sangat terbatas". ICRC kembali sekali lagi muncul ke publik pada tahun 2007 untuk mengutuk "pelanggaran hak asasi manusia"oleh pemerintah militer Myanmar termasuk kerja paksa, kelaparan, dan pembunuhan pria, wanita, dan anak-anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar